Daie



Motivasi dalam Berdakwah

Dalam berdakwah pengetahuan adalah penting, metode dakwah juga sangat penting. Akan tetapi sesungguhnya yang paling penting dan menjadi pokok persoalan segala sesuatu adalah MOTIVASI. Sering kita melihat seorang yang miskin dalam ilmu pengetahuan, tidak hanya pengetahuan keagamaan tetapi juga ilmu dunia, bahkan hampir-hampir buta huruf. Tetapi mereka memiliki satu keunggulan diatas yang lainnya, diatas rekan-rekannya, yakni memiliki semangat motivasi yang lebih tinggi. Hasilnya adalah bahwa mereka selalu jauh lebih berhasil di dalam dakwahnya dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang kurang memiliki motivasi.

Ada beberapa jenis motivasi, bila kita perhatikan para pendakwah ternyata memiliki motivasi yang berbeda beda. Ada yang ingin mengabdikan diri mereka kepada Islam yakni ingin mengembangkan Islam. Suatu sasaran yang bagus, tetapi bukan yang terbaik.
Ada juga yang mempunyai  motivasi karena betul betul mencintai Allah, dan kedekatan kepada Allah menjadikan diri mereka selalu dipenuhi dengan cita-cita untuk menyiarkan ajaran ketauhidan. Jadi apa yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya, harus dibagikan kepada orang lain. Itulah kualitas tertinggi dari motivasi yang disebut dalam Alquran suci secara berulang-ulang yang menunjukkan kepada motivasi Rasulullah saw.
Jadi untuk membandingkan kualitas dan keuntungan dari motivasi terhadap faktor-faktor lain dalam medan dakwah maka seseorang dapat memusatkan perhatiannya berkenaan dengan keluhuran akhlak, akhlak yang sempurna yang diciptakan oleh Tuhan untuk kita, karena maksud dakwah ilallah yang sesunguhnya adalah menyebarkan amanat kepada orang lain dan mengajak mereka ke jalan Tuhan.
Rasulullah saw adalah seorang yang buta huruf, tidak hanya buta huruf akan tetapi juga milik dari kaum yang juga buta huruf, dan kaum Arab ini dikategorikan sebagai umat yang paling bodoh (jahil) di seluruh daerah itu. Berbatasan dengan Arabia pada kedua sisinya mengapit bangsa-bangsa besar yang telah maju dalam hal perkonomian, sosial dan ilmu pengetahuan. Dan bangsa-bangsa ini memandang rendah terhadap kaum Arab seperti mungkin saat ini beberapa Negara besar memandang rendah pada beberapa Negara miskin di Afrika, seolah mereka ini bukan ras manusia. Jangankan dianggap sebagai mitra sejajar, bahkan mereka diangap sebagai beban masyarakat dunia. Seperti itulah bangsa Arab di zaman dahulu.
Dan ketika itulah lahir seorang manusia ummi Muhammad saw yang disebutkan di dalam Alquran suci sebagai seorang ummi dan milik dari kaum ummi (buta huruf). Dan tiba-tiba Muhammad saw menjema menjadi seorang guru jagad yang mengungguli dalam setiap bidang kemanusiaan. Pertama-tama beliau meleburkan diri ke dalam masyarakatnya untuk memulai perubahan kepada mereka dan kemudian beliau melarutkan diri ke dalam sifat-sifat ilahiyah.
Demikian larutnya beliau saw masuk ke dalam kecintaan kepada Tuhan maka setelahnya adalah merupakan sebuah konsekuensi logis bahwa beliau saw memperoleh karunia Tuhan sedangkan sifat-saifatnya sendiri hilang tergantikan dengan sifat-sifat Allah. Maka beliau kembali kepada umat manusia dalam kapasitas sebagai insan yang telah mendapatkan sifat-sifat Tuhan. Ketika beliau kembali kepada umat manusia dalam kapasitas sebagai insan yang telah mendapatkan sifat-sifat Tuhan sesempurna mungkin dalam wujud dirinya, dan beliau menjadi bayangan Tuhan di dunia ini.
Disanalah letaknya kualitas dari motivasi beliau dan bagaimana sesunggunya motivasi yang benar dapat bermanfaat bagi manusia.Sekali kita melarutkan diri ke dalam sifat-sifat Tuhan maka sikap kita kepada manusia menjadi sempurna, karena sikap itu merupakan sikap dari Sang Maha Pencipta terhadap makhluk ciptaan-Nya. Sebagaimana kita mencontah hasil karya kita sendiri sehingga orang yang melarutkan dirinya ke dalam sifat-sifat Tuhan maka berarti mencintai ciptaan-Nya. Dan “cinta” memegang peran paling menentukan dalam dakwah ilallah, dalam tugas menyeru manusia kepada Allah, cinta memegang peran sangat penting.
Gambaran Rasulullah saw dan para sahabat yang dikatakan hampir-hampir buta huruf namun memiliki kecintaan yang tinggi pada dakwah ilallah mempunyai kualitas mencintai orang lain, dan kualitas itu muncul berkat dari kedekatan kepada Tuhan. Mereka mencintai Tuhan dan dalam proses tersebut tanpa disadari oleh diri mereka, merekapun mulai mencintai umat manusia seluruhnya.
Jadi motivasi mereka tercipta karena kecintaan kepada Tuhan dan wujud kecintaan mereka kepada umat manusia juga bertolak dari cinta itu juga. Itu adalah benar-benar apa yang telah kita baca dalam Alquran suci tentang nabi Muhammad saw, guru paling unggul dalam seni mencintai manusia.
Kita melakukan dakwah tidak dengan kesombongan akan ilmu yang kita miliki. Bukan untuk meraih simpati orang banyak. Bahkan sebagai Da’i dalam berdakwah tidak hanya untuk menyiarkan atau mengatasnamakan Islam, kita melakukan dakwah karena kita mengetahui bahwa kita berada di jalan yang benar, sementara banyak saudara-saudara kita yang lain berada dalam jalan yang salah, yang karena ketidak tahuan mereka atau yang tidak tahu mau tahu. Dan juga untuk menyelamatkan saudara-saudara kita yang tidak memiliki kecintaan kepada sesama. Para Da’i meraih tingkat “kegilaan”, dan kegilaan adalah nama lain dari cinta. Semakin besar pula cinta mereka kepada umat manusia yang bersumber dan berdasar dari rasa cinta kepada Tuhan.

Terlebih dahulu Memotivasi diri
Kualitas dari kekuatan dan pengaruh yang tinggi yang terdapat dalam setiap ucapan dan perkataan itulah yang merupakan pokok dari Da’i ilallah. Tetapi seperti yang telah dijelaskan bahwa seseorang harus terlebih dahulu memotivasi dirinya sendiri sebelum momotivasi orang lain.
Jika kita ingin termotivasi, telitilah diri kita sendiri. Perhatikan sejauh mana rencana dan tekad kita untuk mengubah tabiat orang lain dengan tulus ikhlas karena Allah? Seberapa jauh kita mencintai Tuhan? Dan seberapa banyak kita telah menginfaqkan milik kita berupa harta dll demi untuk mengkhidmati Tuhan? Seberapa jauh kita telah mencari Tuhan dan menentukan pilihan-pilihan dalam hidup kita selaras dengan keinginan dan kehendak Tuhan. Ini adalah cara ilmiah untuk menilai diri kita
.
Meneladani Rasulullah saw
Ini adalah satu-satunya jalan untuk berhasil menjadi Da’i dan tampil sebagai Da’i yang berhasil. Yang bilamana seseorang da sungguh-sunggh tergerak, termotivasi dan mengikuti contoh-contoh dari Muhammad Musthofa saw.

Memenangkan wilayah Hati
Bila seseorang berhasil , maka niat dan motivasinyalah yang menentukannya. Seorang Da’i yang hakiki adalah yang memenangkan wilayah hati, jiwa dan pikiran yang diubah dan diajak untuk menuju dan mencintai Tuhan.
Orang yang tergerak melalui cara demikian maka orang tersebut akan berubah menjadi orang yang mencintai tuhan. Tuhan akan Nampak pada mereka dan mereka akan merasakan Tuhan disekelilingnya dan akan merasakan bahwa Tuhan bekerja melalui mereka. Inilah yang dimaksud dengan Da’i yang mencetak Da’i-Da’i lainnya (Da’i baru)
Jadi niat-niat lain tidak mungkin akan menghasilkan fenomena seperti itu. Namun bila didasarkan lillahi taala, maka hal ini akan terbukti benar adanya. Persis seperti itulah Rasulullah saw mencapai keberhasilan demi keberhasilan, dan ganjaran yang diperoleh dari Tuhan tercermin dari ayat:
“Muhammad rasul Allah dan orang-orang yang besertanya sangat tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi amat kasih sayang diantara mereka, engkau melihat mereka rukuk, sujud, mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya.” (QS Al fath:30)
Yakni  Muhammad saw dan beserta siapa-siapa yang hidup bersamanya, maka sifat dan sikap mereka adalah mengikuti akhlak Muhammad musthofa saw.
Jadi beliau saw menciptakan banyak “Muhammad”, dalam makna bahwa orang-orang itu begitu dalam terpengaruh oleh akhlak Muhammad saw dan sebagai hasilnya mereka begitu larut dalam kecintaan kepada Rasulullah saw sebagaimana mereka larut dalam kecintaan kepada Allah. Mereka itulah orang-orang yang hidup bersama Rasulullah saw, memperoleh berkat-berkat dari wujud suci Rasulullah saw dan bekerja bahu membahu bersama Rasulullah saw.
Da’i ilallah yang memiliki niat yang benar akan melahirkan banyak Da’i-Da’i hakiki, dan hal ini akan terjadi terus, akan berlanjut berkesinambungan selama motivasi mereka itu tetap motivasi yang benar.

Niat dan Sifat Akan Terwariskan
Bila terlintas ada niat-niat buruk dalam perbuatan-perbuatan kita, dalam cita-cita kita, dalam upaya dakwah kita, maka semua kekurangan atau cacat dalam niat-niat kita secara otomatis akan terwariskan kepada embrio. Yang dimaksud embrio adalah kelahiran rohani baru dari usaha dakwah kita.
Sebagaimana cacat seorang ibu atau orang tua akan diturunkan kepada anak-anaknya, maka hal serupa bisa terjadi kepada hasil kerja dakwah ilallah kita. Berhati-hatilah, macam manusia bagaimanakah yang akan kita ciptakan melalui kegiatan dakwah ilallah kita. Alquran suci telah mengingatkan kita:
“hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah; dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang didahulukan untuk hari esok”.
Kebanyakan pemahaman ayat diatas hanya ditujukan kepada lembaga perkawinan saja. Hal demikan tidak tepat! Hal ini bisa juga diterapkan pada semua situasi terlebih lagi terhadap dakwah ilallah.
Alquran suci mengingatkan bahwa  kapanpun kita menciptakan muslim-muslim baru, ingatlah bahwa dalam penciptaan ini akan terwariskan kepada generasi  yang akan datang. Dan kelahiran ruhani generasi yang baru tersebut akan mewariskan kesan dan sifat-sifat kita. Maka perlu kehati-hatian atas kehidupan generasi dimasa yang akan datang.
Ada juga pengecualian orang yang didakwahi memiliki kualitas yang demikian baiknya bahkan lebih baik daripada sang Da’i tersebut. Dalam kasus ini maka orang yang didakwahi tersebut menolak menerima kelemahan-kelemahan sang Da’i, bahkan ia tumbuh menjadi seorang dengan karakter yang lebih baik.

Takutlah kepada Allah
Jadi berhati-hatilah dengan apa yang kita upayakan, namun kita hanya akan bisa berhati-hati bila kita takut kepada Allah. “yaa ayyuhalladziina aamanuttaqullah…”, itulah ayat Alquran sebagai obat penawar akan hal ini.
Bila kita memiliki takwa barulah kita akan berhati-hati terhadap apa yang akan kita wariskan kepada generasi berikutnya melalui dakwah, dan takwa itu pulalah yang membantu kita untuk meningkatkan kualitas pengkhidmatan kita kepada Tuhan.
Bagaimana niat Dakwah Ilallah
Kita harus memiliki niat atau motivasi yang benar terlebih dahulu. Kita harus mulai mencintai Tuhan, dan kapanpun kita berdakwah, maka berdakwahlah dengan niat karena Allah. Jagalah hubungan dengan-Nya, selalu mengupayakan untuk menarik ridha-Nya. Dan saat berdakwah diiringi dengan merendahkan diri dan bersimpuh di hadapan-Nya dengan mengatakan bahwa saya mengerjakan ini hanya demi Allah dan memohonlah dengan mengatakan:
“ya Allah, jauhkanlah segala kelemahanku ini dan anugerahilah kekuatan kepadaku dan anugerahkanlah kepada hamba-Mu ini seseuatu upaya yang menghasilkan, sebuah hasil yang sehat dan berkualitas, karena hamba tak mau menyajikan buah-buah yang busuk atau buah-buah yan cacat kehadapan-Mu, sehingga hamba malu menyajikan di hadapan Engkau. Maka tolonglah hamba-Mu ini sehingga hamba dapat mempersembahkan buah yang terbaik.”
Dengan cara demikian, secara psikologis proses ini akan membuahkan doa, doa-doa yang menggetarkan hati sehingga kualitas dakwah ilallah pun akan terus meningkat dan hasilnya sedemikian baik. Jika hasilnya sempurna maka tiada seorangpun di dunia ini yang dapat menghentikan penyebaran ketauhidan.

Kenapa tidak berhasil?
Bila hal ini tidak berhasil dengan semestinya di zaman modern ini maka pasti ada sesuatu yang salah pada diri kita.
Bila kita mempunyai motivasi yang benar dan melahirkan orang-orang muwahid (pecinta tauhid) yang senantiasa cinta kepada Tuhan, dan bukan hanya karena keyakinan secara mental saja namun berdasarkan kecintaan kepada Tuhan, maka mereka mulai melihat bahwa Tuhan berada di pihaknya, melalui kita, melalui bantuan kita. Bila kita mengalami semua ini maka mustahil mereka tidak menyampaikan dakwah ilallah ini kepada saudara-sudaranya yang lain.
Beberapa kendala memang pasti ada, seperti keadaan masyarakat sekarang yang sudah dipenuhi dengan kehidupan materialisme. Dan cara menangulanginya hanyalah bahwa kita harus melompat lebih tinggi lagi. Hanya itulah jawabannya.

Cukupkah Argumentasi logika
Memberikan materi dakwah dengan cara apapun yang secara logika atau dalil-dalil mungkin saja begitu meyakinkan, namun hasilnya tidak cukup, kenapa? Karena mereka yang jatuh ke dalam penyakit materialisme tak tercukupkan hanya dengan argumentasi logika saja. Hati merekalah yang menjadi penyebab utamanya. Kita harus merubah kecenderungan hati mereka kearah Tuhan melalui motivasi dan niat suci kita, niat yang berakar kepada kecintaan kepada Tuhan.

Isilah dengan ruh yang benar
Perbaikilah kualitas kehidupan kita dan orang-orang yang ada di sekitar kita, teruslah mengisi mereka dengan ruh-ruh yang benar.tularkanlah apa yang kita rasakan, getaran-getaran kita haruslah disampaikan kepada mereka. Yaitu getaran yang berisi amanat-amanat kecintaan kepada Tuhan, dan hal ini bisa diwujudkan berupa kecintaan kepada sesame manusia.

Raih dan jaga kecintaan kepada Tuhan
Sejak saat ini kita harulah memulai mencoba dengan sugguh-sunguh bahwa kecintaan kepada Tuhan berakar kuat dalam hati kita. Bila ini terjadi, peliharalah dan jagalah hal itu dengan sebaik-baiknya. Lihatlah bahwa hal tersebut akan berubah menjadi suatu kekuatan, dan hal ini tidak mungkin terjadi dalam satu malam, namun perlu waktu tentunya.
Semoga Allah menolong kita, semoga kita bisa kembali kepada Tuhan secara memuaskan, dan memberikan yang terbaik dan merubah dunia untuk-Nya. Semoga allah memberkati dan menolong kita meraih tujuan yang mulia ini, amin.



KEDUDUKAN DARA DALAM PERKAHWINAN?

di petik daripada soal jawab agama: Ustaz Ahmad Adnan Fadzil

Soalan; assalaamualaikum,.. saya mahu bertanya, pentingkah dara dalam mendirikan rumahtangga? berdosakah perempuan yang melakukan zina dengan paksaan??

Jawapan;

1. Apa sahaja kesalahan yang dilakukan dengan paksaan, orang yang melakukannya kerana dipaksa itu tidak dianggap berdosa di sisi Syariat sebagaimana sabda Nabi -sallallahu 'alaihi wasallam-; "Sesungguhnya Allah menggugurkan dari umatku (dosa yang mereka lakukan kerana) tersalah, terlupa dan yang dipaksa ke atas mereka" (HR Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhu-). Tetapi hendaklah paksaan itu yang benar-benar paksaan iaitu yang menafikan kehendak diri, iaitu orang yang melakukannya tidak redha dengan apa yang berlaku ke atas dirinya.

2. Mengenai dara, tidaklah seorang wanita (atau walinya) wajib mendedahkan keadaan dirinya kepada lelaki yang meminangnya apakah ia masih mempunyai dara atau tidak. Dan apabila seorang lelaki mengahwini seorang perempuan, kemudian ia mensyaki isterinya telah tidak mempunyai dara, apabila ia bertanya isterinya, tidaklah wajib isteri menjawab soalan itu (dalam kata lain; tidaklah perlu ia mendedahkan kisah silamnya kepada suami). Jika suami ingin menceraikannya kerana sebab tersebut terpulanglah kepada suami (kerana kuasa talak/cerai ada pada suami), tetapi itu bukanlah akhlak yang baik. Suami hendaklah berbaik sangka terhadap isterinya kerana hilang dara tidak semestinya kerana berzina, ia mungkin terjadi dengan sebab lain (kerana terjatuh, darah haid terlalu banyak, kerana tertusuk sesuatu atau sebagainya). Malah sekalipun isterinya pernah berzina pada masa silamnya, tidak perlu suami mencungkil masa silam isterinya apabila isterinya telah menampakkan kesolehannya pada pandangan zahirnya (kerana itu menunjukkan ia telah bertaubat kepada Allah). Keaiban yang telah ditutup Allah tidak perlulah kita membukanya. Sabda Nabi –sallallahu ‘alaihi wasallam-; “Sesiapa menutup keaiban seorang muslim yang lain, Allah akan menutup keaibannya di hari kiamat” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar).

Nabi juga pernah bersabda; “Jauhilah oleh kamu sekelian perbuatan keji (zina, minum arak dan sebagainya). Sesiapa yang pernah melakukan sesuatu darinya, hendaklah ia menutup diri dengan tutupan Allah (yakni jangan ia mendedahkan apa yang disembunyikan Allah) dan hendaklah ia bertaubat kepada Allah, kerana sesiapa membuka perihal dosanya kepada kami (pemerintah) kami pasti akan melaksanakan ke atasnya hukuman yang ditetapkan oleh Kitab Allah” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar. Hadis ini menurut Imam as-Suyuti; soheh. Lihat; al-Jami’ as-Saghier, hadis no. 175).

Berkata Imam al-Munawi –mengulas hadis ini-; “Difahami dari hadis ini; sesiapa telah melakukan sesuatu dari maksiat, hendaklah ia menyembunyikannya (yakni tidak mendedahkannya kepada orang lain). Dari itu, adalah ditegah perbuatan mengintip orang yang melakukan maksiat kerana itu membawa kepada melubangi/mengoyak tutupan Allah (kepada hambaNya)..Terdapat syair menyebutkan;
Jangan kamu mencari keaiban manusia yang tersembunyi,
Nanti Allah akan membuka tirai yang menutup keaibanmu.
(Faidhul-Qadier)

3. Dikecualikan jika bakal suami telah mensyaratkan (kepada bakal isterinya atau kepada walinya); hendaklah bakal isterinya itu seorang yang masih dara, pada ketika itu -jika bakal isteri telah tidak mempunyai dara- hendaklah berterus terang, tetapi tidaklah wajib memberitahu punca ketiadaan dara itu. Keaiban diri kita (atau orang lain), jika perlu diberitahu kepada orang lain, kita hanya harus memberitahu sekadar perlu sahaja, bukan menceritakan segala-galanya. Jika bakal isteri atau walinya menipu dalam masalah ini -sedang bakal suami telah meletakkan syarat sebegitu-, menurut sebahagian ulamak; setelah berlaku akad, suami mempunyai hak khiyar (hak memilih) antara meneruskan akad atau membatalkannya (yakni memohon agar dibatalkan perkahwinan dan menuntut gantirugi maskahwin dari orang yang menipunya).[1]

4. Apabila seorang lelaki ingin memilih seorang wanita untuk menjadi isterinya, apa yang disuruh oleh Nabi untuk diperhatikan ialah agamanya. Sabda Nabi; “Dikahwini seorang perempuan itu kerana empat sebab; kerana hartanya, kerana keturunannya, kerana kecantikannya dan kerana agamanya. Kamu pilihlah perempuan yang patuh kepada agama. Jika tidak kamu akan rugi/kecewa”. (Riwayat Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasai dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-)

Maksud memerhati agama bukanlah dengan bertanya ia ada dara atau tidak?, tetapi dengan melihat kesolehannya; cara berpakaiannya, akhlaknya, ibadahnya, pergaulannya dan sebagainya. Sekalipun seorang wanita pernah terlanjur pada masa silamnya, namun pada masa kini ia telah berubah menjadi wanita yang solehah dan menjaga agama (menutup aurat, menjaga akhlak dan pergaulan, menjaga ibadah), ia termasuk dalam wanita yang menjaga agama yang dimaksudkan oleh Nabi. Dalam keadaan lain pula, jika seorang wanita belum pernah terlanjur, tetapi keadaan semasanya tidak menampakkan kesolehan (tidak perpakaian secara Islam, tidak menjaga ibadah dan pergaulan) ia bukanlah wanita yang menjaga agama sekalipun mungkin daranya masih ada.

3. Kesimpulannya, ketiadaan dara tidaklah menjejaskan akad perkahwinan, cuma ia dianggap suatu kekurangan. Wujudnya kekurangan sebegitu pada pasangan tidaklah menjejaskan akad kecualilah jika disyaratkan sebagaimana dijelaskan tadi.






Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka, atau bapa mentua mereka, atau anak-anak mereka, atau anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu berjaya. (Surah an-Nur, ayat 31)
Ayat di atas telah menerangkan kepada kita betapa pentingnya memakai hijab untuk menjadi wanita yang beriman. Haram kita memperlihatkan aurat kita kepada bukan muhrim selain yang dinyatakan di atas.
Hadis riwayat Aisyah RA, bahawasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah SAW dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah SAW berpaling darinya dan berkata:Hai Asma, seseungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini,” sambil baginda menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud dan Baihaqi).
Hadis diatas menunjukkan tentang
1. Kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat.

** Jagalah perhiasan kita wahai wanita, jangan jadikannya ianya begitu murah untuk santapan para lelaki umpamanya jika kita ke kedai emas sekalipun kita ingin memilih perhiasan yang paling mahal dan berkualiti. Begitu juga dengan diri kita. Hiasilah diri kita dengan keperibadian yang mulia supaya diri kita menjadi wanita yang solehah.

Laungan Zikir


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com